Selasa, 23 November 2010

Suku Jawa: Dicintai dan dibenci

Bicara tentang suku Jawa, akan ada banyak sekali hal positif dan negatif yang akan kita temukan dari suku yang menempati populasi terbesar di Indonesia ini. Mengingat dominasinya di Indonesia, segala hal yang positif dan negatif berkaitan dengan suku Jawa itu juga memengaruhi karakter Indonesia secara keseluruhan. Apa dan siapa sebenarnya suku Jawa itu? Tulisan ini akan mencoba sedikit membahasnya. 
Suku Jawa adalah suku yang dominan di Indonesia. Hampir separuh etnis di Indonesia (sekitar 41,7%) adalah etnis Jawa. Mereka berasal dari pulau Jawa bagian tengah dan timur, tetapi mereka juga menyebar di berbagai daerah dan pulau lain, hampir di seluruh wilayah Indonesia. Sub-suku Jawa ada di kawasan sekitar gunung Bromo yang disebut suku Tengger, dan kawasan Banyuwangi yang disebut suku Osing.
Agama dan Kepercayaan
Penganut agama Islam masih mendominasi suku ini, namun jumlah penganut agama Kristen dan Katolik juga tidak bisa dikatakan kecil. Agama Buddha dan Hindu juga mendapatkan porsi di suku ini. Memang, suku Jawa merupakan suku yang terbuka, sehingga meski berasal dari suku bangsa yang sama namum cara berpikir mereka sangat beragam.
Jauh sebelum agama dari luar masuk ke Indonesia, sebenarnya masyarakat Jawa telah memiliki agama asli mereka, yang disebut Kejawen. Ajaran Kejawen sangat menekankan pada keseimbangan, dan tidak pernah terikat pada aturan yang kaku. Aliran spiritual ini sangat kaya karena melingkupi tradisi, seni, budaya, dan pandangan filosofis masyarakat Jawa. Biasanya, dibarengi dengan "laku", yang disimbolkan dengan benda-benda yang dianggap mewakili budaya Jawa, seperti keris, bunga-bunga tertentu, tempat-tempat tertentu yang dianggap sakral, dan lain sebagainya. Maka, tak jarang, jika Kejawen sering diasosiasikan dengan klenik.
Seiring perkembangannya, Kejawen mengalami sinkretisme dengan agama-agama yang datang dari luar, sehingga muncullah golonganIslam Kejawen, Katolik Kejawen, dan sebagainya.
Stratifikasi Sosial
Seorang antropolog Amerika yang kondang, Clifford Geertz, dalam penelitiannya pada 1960-an, membagi masyarakat Jawa menjadi santri, abangan, dan priyayi. Para penganut Islam yang taat dianggap berada di kelompok santri, sementara kaum bangsawan termasuk dalam golongan priyayi, dan penganut Islam kejawen dianggap sebagai kaum abangan. Akan tetapi, teori ini kemudian mendapat banyak sekali kritik karena dianggap mencampur aduk kelompok sosial dengan kelompok kepercayaan. Di samping itu, pengelompokan itu juga tidak bisa digunakan untuk mengelompokkan orang yang datang dari luar Jawa.
Seni
Kesenian masyarakat Jawa banyak dipengaruhi oleh tradisi Buddha dan Hindu. Cerita wayang sebagian besar diadaptasi dari epik Mahabarata dan Ramayana. Selain itu, karya seni masyarakat Jawa yang terkenal adalah batik, keris, dan gamelan. Gamelan adalah seperangkat alat musik tradisional Jawa yang dimainkan bersama-sama, mirip seperti orkestra.
Jawanisme
Karakter masyarakat Jawa sangat feodalistik. Pramoedya Ananta Toer, seorang sastrawan kondang, mendefinisikannya sebagai ketaatan membabi buta pada kekuasaan. Sisi positifnya, masyakarat Jawa masih menghormati raja mereka, dan kedudukan raja bukan sekadar simbolis di era modern ini, melainkan masih memiliki kekuasaan dan kekuatan. Hal ini memungkinkan budaya Jawa dan tradisinya masih terjaga dengan apik hingga hari ini, meski sudah mengalami banyak pengeroposan juga di sana-sini.
Sisi negatifnya, Jawanisme ini dianggap sebagai biang kerok yang membentuk mental bangsa Indonesia menjadi mental "buruh". Ia dianggap penyebab terbesar suburnya kolonialisme dan imperialisme selama berabad-abad, bahkan hingga kini. Masyakarat Jawa yang terlalu mengagung-agungkan kekuasan itu dianggap mematikan budayakritis dengan tetap mendukung kekuasaan yang pincang, karena mereka cukup nyaman dengan menjadi "penjilat" dan mendapatkan banyak keuntungan dari situ.
Feodalisme Jawa ini juga dianggap masih terasa hingga hari ini, apalagi mengingat hampir semua presiden RI adalah orang-orang Jawa. Dan, betapa pun pincangnya pemerintahan mereka, mereka tetap mendapatkan dukungan dari sebagian besar masyarakat yang lebih suka mencari aman. Mungkin ini sesuai dengan prinsip hidup orang Jawa yang mengagungkan harmoni, dan sebisa mungkin menghindari konflik.
Tak heran jika predikat suku yang paling mendominasi di Indonesia ini, baik secara kuantitif maupun kualitatif, menjadikan suku Jawa banyak mendapat pujian, tetapi juga tak pernah sepi dari kritikan, baik yang datang dari suku bangsa lain atau dari orang Jawa sendiri. 
sumber www.anneahira.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar